TERBENTUKNYA KOPERASI DI INDONESIA
Koperasi Masa Orde Lama
Sejak masa kemerdekaan, koperasi di
Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik karena adanya dukungan
dari pemerintah terutama Drs. Moh. Hatta selaku wakil presiden saat itu. Selain
itu, ditetapkan pula undang-undang yang mengatur tentang perkoperasian, yaitu
Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan
pula bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut
adalah koperasi.
Dengan adanya dukungan yang positif dari
pemerintah Indonesia masa itu, maka pada akhir 1946, Jawatan Koperasi
mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di
seluruh Indonesia. Hal ini merupakan awal perkembangan yang sangat baik bagi
koperasi di Indonesia. Dan juga pertumbuhan koperasi ini dapat membantu
perbaikan ekonomi Indonesia yang saat itu belum kuat karena baru terlepas dari
penjajahan bangsa asing.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi
yang pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam kongres tersebut menghasilkan
keputusan antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia
(SOKRI); menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi, serta menganjurkan
diselenggarakannya pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan
masyarakat secara umum. Setelah diadakan kongres itu, pertumbuhan koperasi di
Indonesia semakin meningkat pesat.
Setelah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah
semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian. Hal ini terbukti
dengan adanya pergantian kabinet-kabinet yang kebijakannya selalu mendukung
koperasi agar semakin berkembang. Sehingga sejalan dengan kebijaksanaan
Pemerintah tersebut, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik
organisasi maupun usahanya.
Lalu pada
tanggal 15 sampai 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke
II di Bandung. Kongres kedua ini menghasilkan keputusan antara lain merubah
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi
Indonesia (DKI). Selain itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan
Koperasi serta mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di provinsi-provinsi
seluruh Indonesia. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran kepada
Pemerintah agar segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta
mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Pada
tanggal 1 sampai 5 September tahun 1956, diselenggarakan Kongres Koperasi yang
ke III di Jakarta. Keputusan kongres di samping hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi
Indonesia dengan International Cooperative Alliance (ICA).
Menyusul dikeluarkannya Dekrit Presiden
pada tahun 1959, mempunyai dampak terhadap Undang-Undang No. 79 Tahun 1958
tentang Perkumpulan Koperasi. Undang-Undang tersebut kehilangan dasar dan tidak
sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945. Sehingga dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi.
Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara seragam, dan
dikeluarkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat
UUD 1945 dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi peranan
sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya benar-benar dapat
merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala
Indonesia, sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur
perekonomian rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat
adil dan makmur yang demokratis.
b. Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif
dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu
menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan
Gerakan Koperasi, dan
c. Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi
kepada inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja
tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalisme,
tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai
dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya (Sularso 1988).
Koperasi Masa Orde Baru
Semangat Orde Baru yang dimulai titik
awalnya 11 Maret 1966 segera setelah itu pada tanggal 18 Desember 1967 telah
dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967
tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang
Perkoperasian mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak :
a.
Menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada
politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.
b.
Menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dasar koperasi dari kemurniannya.
2. Bahwa
berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang sesuai dengan
semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan-ketetapan
MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan
kedudukan hukum dan tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan
ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi
nasional. Bahwa koperasi bersama-sama dengan sektor ekonomi Negara dan swasta
bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam rangka
memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat Sosialisme
Indonesia berdasarkan Pancasila yang adil dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha
Esa.
3. Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang
No. 14 tahun 1965 perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita
yang terkandung dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah
satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu.
Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah
mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap
“ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani”.
Namun perkembangan koperasi pada masa itu
masih mempunyai kelemahan-kelemahan, terutama pada bagian manajemen dan sumber
daya manusia pada organisasinya karena koperasi yang terbentuk adalah koperasi
kecil yamg letaknya di pedesaan. Oleh karenanya, untuk mengatasi kelemahan
organisasi, maka sejak tahun 1972, dikembangkan penggabungan koperasi-koperasi
kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di pedesaan dibagi
dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasi-koperasi yang yang ada
dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan menjadi organisasi yang besar dan
dinamakan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa
yang bergabung itu dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelma menjadi KUD (Koperasi
Unit Desa). Karena secara ekonomi menjadi besar dan kuat, maka BUUD/KUD itu
mampu membiayai tenaga-tenaga yang cakap seperti manajer, juru buku, juru
mesin, juru toko dan lain-lain. Juga BUUD/KUD itu dipercayai untuk meminjam
uang dari Bank dan membeli barang-barang produksi yang lebih modern, sesuai
dengan tuntutan kemajuan zaman (mesin gilingan padi, traktor, pompa air, mesin
penyemprot hama dan lain-lain). Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang
selanjutnya diperbaharui menjadi instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian
disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
Pemerintah di dalam mendorong
perkoperasian di era Orde Bru telah menerbitkan sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan
baik yang menyangkut di dalam pengembangan di bidang kelembagaan, di bidang
usaha, di bidang pembiayaan dan jaminan kredit koperasi serta kebijaksanaan di
dalam rangka penelitian dan pengembangan perkoperasian.
Sejalan dengan prioritas pembangunan
nasional, dalam Pelita V masih terpusatkan pada sektor pertanian, maka
prioritas pembinaan koperasi mengikuti pola tersebut dengan memprioritaskan
pembinaan 2.000 sampai dengan 4.000 KUD Mandiri tanpa mengabaikan
pembinaan-pembinaan terhadap koperasi jenis lain. Adapun tujuan pembinaan dan
pengembangan KUD Mandiri adalah untuk mewujudkan KUD yang memiliki kemampuan
manajemen koperasi yang rasional dan efektip dalam mengembangkan kegiatan
ekonomi para anggotanya berdasarkan atas kebutuhan dan keputusan para anggota
KUD. Dengan kemampuan itu KUD diharapkan dapat melaksanakan fungsi utamanya
yaitu melayani para anggotanya, seperti melayani perkreditan, penyaluran barang
dan pemasaran hasil produksi.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar