JURNAL
Analisis
Yuridis Terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan
(Studi
Normatif Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
ARTIKEL
ILMIAH
Untuk
Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat
Untuk
Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam
Ilmu Hukum
Oleh
:
ADI
NUGROHO SETIARSO
NIM.
0910113064
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
FAKULTAS
HUKUM
MALANG
2013
LEMBAR
PERSETUJUAN
JURNAL
Analisis
Yuridis Terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan
(Studi
Normatif Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang)
Oleh:
ADI
NUGROHO SETIARSO
NIM.0910113064
Disetujui
pada tanggal :
Pembimbing
Pendamping
Imam
Ismanu SH. MS
NIP.
19510727 198002 1 001
Pembimbing
Utama
Dr.
A. Rachmad Budiono SH. MH
NIP.
19591118 198601 1 002
Mengetahui
Ketua
Bagian
Hukum
Perdata
Siti
Hamidah, SH.MM.
NIP.
19660622 199002 2 001
LEMBAR
PENGESAHAN
JURNAL
Analisis
Yuridis Terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan
(Studi
Normatif Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Oleh:
ADI
NUGROHO SETIARSO
NIM.0910113064
Skripsi
ini telah disahkan oleh Majelis Penguji pada tanggal : 5 maret 2013
Ketua
Majelis Penguji Anggota
Dr.
A. Rachmad Budiono,SH.MH Dr. Rachmad Syafa’at SH, M.Si
NIP.
19591118 198601 1 002 NIP. 19620805 198802 1 001
Anggota
Anggota
Umu
Hilmy ,SH.MS Ratih Dheviana Puru H.T, SH.
NIP.
19490712 198403 2 001 NIP. 19790728 200502 2 001
Mengetahui,
Ketua
Bagian Dekan Fakultas Hukum
Hukum
Perdata
Siti
Hamidah, SH.MM. Dr. Sihabudin, SH, MM.
NIP.
19591216 198503 1 001 NIP. 19660622 199002 2 001
ABSTRAKSI
Penulis membahas tentang akibat hukum
ketidakjelasan pengaturan mengenai
insolvensi khususnya bagi debitor
yang berbentuk Perseroan Terbatas dimana keadaan suatu
perusahaan yang masih solven tetapi
dapat dipailitkan oleh pengadilan niaga. Dikarenakan
pengaturan untuk memailitkan suatu
debitur sangat sederhana hanya dengan minimal dua
kreditor dan salah satu utang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih, dari permasalahan ini
penulis mencoba menganalisis Keadaan
Insolvensi Dalam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2
ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang)
Adapun tujuan penulis mengangkat
topik permasalahan ini Untuk mengetahui akibat
hukum dengan ketidak jelasan
pengaturan mengenai insolvensi khususnya bagi debitur yang
berbentuk Perseroan Terbatas.
Jenis penelitian yang dilakukan
penulis ini adalah penelitian hukum normatif, karena
penulis akan melakukan penelitian
dengan menganalisis perundang – undangan dan peraturan
– peraturan yang berlaku mengenai
hukum kepailitan di Indonesia. Kemudian, dianalisis
sesuai dengan undang– undang dan
peraturan yang ada dan kemudian ditarik kesimpulan
yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti apakah perusahaan yang masih solven dapat di
pailitkan. Sedangkan Pendekatan yang
digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan
dan Pendekatan Konsep.
Hasil dari penelitian yang telah
dilakukan oleh penulis ini ialah bahwa Dalam hal
pelaksanaannya, Undang-undang
kepailitan seharusnya menentukan pembatasan jumlah
minimal utang yang dapat dijadikan
dasar untuk mengajukan permohonan pailit baik
kepailitan terhadap orang perorangan
maupun terhadap perseroan terbatas, serta ketentuan
yang menyatakan bahwa subjek hukum
khususnya perseroan terbatas dapat dipailitkan
apabila jumlah total seluruh utang
melebihi asset perseroan terbatas yang berarti bahwa
pasiva perseroan melebihi aktiva
perseroan terbatas dan berkaitan dengan prinsip
commercial exit from finsancial
distress, maka perlunya Undang-undang kepailitan
menerapkan ketentuan insolvency test
sebelum permohonan pailit diperiksa oleh hakim. Hal
ini untuk melakukan perlindungan
hukum terhadap perusahaan yang sangat solven dan tidak
ada masalah dengan kinerja
keuangannya dapat dinyatakan pailit karena syarat yang terlalu
sederhana yaitu minimal ada dua
kreditur dan utangnya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dengan kata lain, kepailitan bisa
digunakan untuk membangkrutkan perseroan dan bukan
sebaliknya sebagai alternatif solusi
penyelesaian kebangkrutan perseroan. Inilah kesalahan
terbesar dari filosofi kepailitan yang
ditanamkan dalam Undang-undang kepailitan di
Indonesia.
Perlunya Undang-undang kepailitan
mengatur mengenai bubarnya perseroan terbatas
adalah antara lain karena tidak
cukupnya harta perseroan untuk melunasi utang-utang
perseroan terbatas yang pailit serta
karena perseroan terbatas memasuki fase insolvensi dalam
proses kepailitan
ABSTRACT
Writer discuss about the
consequences law obscurity arrangement on salary insolvensi
especially for debitor shaped
limited company where the state of a company still solven but
can dipailitkan by commercial court.
Because the setting for memailitkan a debtor very
simple only with at least two
creditors and one of debt has due and can long-billed, of this
problem writer trying to analyze the
state of insolvensi in bankruptcy ( study normative
article 2 paragraph 1 act no 37 2004
on bankruptcy and suspension of debt payment )
The purpose of the author of the
topic issue to determine due to the lack of clarity in
the law regarding insolvency
arrangements particularly for borrowers in the form of Limited
Liability Company.
Type of research by the author is
normative legal research, because I would do the
research by analyzing the
legislation - legislation and regulations - regulations concerning
bankruptcy law in Indonesia. Then,
analyzed in accordance with laws and regulations and
then draw conclusions relating to
the problems examined whether the company is still solvent
can pailitkan. While the approach
used is the Regulatory Approach and Approach Concept.
The results of the research that has
been conducted by the authors is that in terms of
implementation, bankruptcy law
should specify restrictions on the minimum amount of debt
that can be used as a basis to file
a bankruptcy petition against the bankruptcy of both
individuals and the limited
liability company, as well as the provision stating that legal
subjects particularly if the
corporation can bankrupt entire debt exceeds total assets of the
limited liability company which
means that liabilities exceed assets limited liability company
and is related to commercial
principles exit from finsancial distress, the need for legislation to
implement the provisions of the
bankruptcy petition bankruptcy insolvency test before
examined by the judge. This is to
make the protection of the law against companies that are
very solvent and no problems with
its financial performance can be declared bankrupt
because it is too simple requirement
that at least two creditors and the debt is due and
payable. In other words, bankruptcy
can be used for bankrupting the company and not vice
versa as the alternative solution to
bankruptcy settlement company. This is the biggest
mistake of philosophy instilled in
bankruptcy bankruptcy law in Indonesia.
The need for bankruptcy laws
governing the dissolution of the limited liability
company is among others due to
insufficient assets to pay off the company's debts and
insolvent limited liability company
as a limited liability company into insolvency phase in the
process of bankruptcy
KATA KUNCI
1. Debitur Adalah Debitur adalah
pihak yang berhutang kepada pihak lain yang
dijanjikan untuk dibayar kembali
pada masa yang akan datang. Pihak lain yang
menghutangi ini biasa disebut
sebagai kreditur. Dalam konteks perbankan biasanya
dalam melakukan hutang atau
peminjaman seorang debitur memerlukan agunan
atau jaminan.
2. Utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang, baik dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul
dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang
dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi, memberi hak
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitor
3. Insolvensi adalah insolvensi
disebut sebagai keadaan tidak mampu membayar. Jadi
insolvensi itu terjadi (demi hukum)
jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit
berada dalam keadaan tidak mampu
membayar seluruh utang yang wajib dibayar.
4. Perseroan Terbatas adalah
perseroan adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal.
1
PENDAHULUAN
Penyelesaian masalah utang piutang
merupakan agenda utama nasional
dalam rangka pemenuhan ekonomi
secara cepat dan efisien untuk itu pula
pengaturan tentang kepailitan sangat
penting dilaksanakan agar penundaan
kewajiban pembayaraan utang menjadi
masalah yang penting untuk segera
diselesaikan.1 Berkaitan dengan hal
tersebut setiap perusahaan mungkin atau pasti
mempunyai utang. Bagi suatu
perusahaan, utang bukanlah merupakan suatu hal
yang buruk, asal perusahaan tersebut
masih dapat membayar kembali. Perusahaan
yang begini biasa disebut perusahaan
yang solven, artinya perusahaan yang
mampu membayar hutang-hutangnya.
Sebaliknya jika suatu perusahaan yang
sudah tidak mampu membayar
hutang-hutangnya lagi disebut insolven, artinya
tidak mampu membayar.2
Lahirnya peraturan mengenai
kepailitan diharapkan dapat mengatasi
permasalahan dalam perekonomian
nasional dan memberikan rasa keadilan, baik
terhadap kreditor maupun debitor.
Menurut W.Friedman, Suatu Undang-undang
atau peraturan haruslah memberikan
keadilan yang sama kepada semua walaupun
terdapat perbedaan-perbedaan di
antara pribadi-pribadi itu, kalau tidak ada
kedudukan sosial, kemajuan dalam
hidup dicapai bukan atas dasar reputasi
melainkan karena kapasitas,
kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang
menentukan sosial saja.3
Salah satu paradigma hukum
kepailitan adalah adanya nilai keadilan
sehingnga hukum dapat memberikan
tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan
manfaat, kegunaan dan kepastian
hukum. Satjipto rahardjo menyatakan “hukum
1 Robintan Sulaiman dan joko
prabowo, lebih jaug tentang kepailitan, Karawaci : Delta Citra
Grafindo, hlm 1
2 Zaeni Asyhdie, Hukum
Bisnis”Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia”, (Jakarta: P.T.
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 1.
3 W. Friedman, teori dan filsafat
hukum dalam buku telaah kritis atas teori-teori hukum
diterjemahkan dari buku aslinya Legal
Theori oleh Arifin (Jakarta : raja grafindo persada, 1993),
Hlm 7
2
sebagai perwujudan nilai-nilai
mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.4
Inisiatif pemerintah untuk merevisi
peraturan tentang kepailitan
sebenarnya timbul karena ada tekanan
dari Dana Moneter Internasional atau
Internasional Monetary Fund (IMF)
yang mendesak supaya Indonesia
menyempurnakan sarana hukum yang
mengatur permasalahan pemenuhan
kewajiban oleh debitor kepada
kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan
yang merupakan warisan pemerintah
kolonial Belanda selama ini kurang
memadai dan tidak dapat memenuhi
tuntutan zaman.5
Ditetapkannya Perpu nomor 1 tahun
1998 jo Undang-undang Nomor 4
tahun 1998 selanjutnya disebut
Undang-undang kepailitan dalam mengatasi
gejolak moneter yang diharapkan
menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan
utang piutang antara kreditur dan
debitur secara cepat, adil dan efektif tidak
terlaksana, hal ini karena desakan
untuk segera mungkin untuk memperbaiki
peraturan kepailitan dengan cara
tambal sulam pasal-pasal peraturan kepailitan
yang ada, sehingga banyak ketentuan
dalam pasal-pasal yang diubah tidak
sempurna yang kemudian disempurnakan
dengan Undang-undang Nomor 37
tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang.
Hikmanto juwana berpendapat bahwa
amandemen atas Undang-undang
kepailitan sangat dominan melindungi
kepentingan kreditor. Hal ini bisa dilihat
dari syarat untuk dinyatakan pailit
sebagaimana termaktub dalam pasal 2 angka 1
Undang-undang kepailitan yaitu
adanya dua atau lebih utang dan salah satunya
telah jatuh tempo. Namun dalam
amandemen Undang-undang kepailitan tersebut
tidak satu ketentuan yang
mensyaratkan bahwa debitor harus dalam keadaan tidak
mampu membayar (Insolvency).
Tentunya hal ini bertentangan dengan filosofi
universal dari Undang-undang
Kepailitan yaitu memberikan jalan keluar bagi
debitor dan kreditor bilamana
debitor sudah dalam keadaan tidak lagi mampu
membayar utangnya.
4 Satjipto Rahadjo, Sosiologi Hukum
: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Surakarta
:Universitas Muhamadiyah, 2002), Hlm
60
5 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaja,
kepailitan seri hukum bisnis, Jakarta : Raja Grafindo persada,
2002 hlm 1
3
Praktek penjatuhan pailit dalam
Undang-undang Kepailitan banyak
menimbulkan problematika dan debat
yuridis. Salah satu penyebabnya adalah
karena pengaturannya banyak yang
tidak jelas dan adanya ketidak sinkronan
antara peraturan perundang-undangan
seperti yang terdapat dalam pasal 142 huruf
d dan e yang menjelaskan bahwa
pembubaran perseroan terbatas dikarenakan
kondisi keuangan perusahaan tidak
cukup untuk melunasi keuangannya dan
karena perseroan terbatas memasuki
fase insolvensi namun dalam pasal 2 ayat 1
tentang syarat dijatuhkan pailit
tidak mengatur kondisi keuangan perusahaan
dalam keadaan insolvensi sehingga
memberikan peluang untuk beragam
penafsiran yang berakibat
ketidakpastian hukum. Kepailitan merupakan suatu
proses dimana seorang debitor yang
mempunyasi kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit
oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan
niaga, dikarenakan debitor tersebut
tidak dapat membayar utangnya.6 Pernyataan
tersebut mengakibatkan debitor
kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukkan
dalam kepailitan, terhitung sejak
putusan pailit dijatuhkan.
Salah satu tahap penting dalam
proses kepailitan adalah tahap insolvensi.
Tahap ini penting artinya karena
pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan.
Apakah harta debitor akan habis
dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun
debitor masih dapat bernafas lega
dengan diterimanya suatu rencana perdamaian
atau rekstrukturisasi utang. Apabila
debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka
debitor sudah benar-benar pailit,
dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun
hal ini tidak berarti bahwa bisnis
dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa
dilanjutkan.7 Untuk mempailitkan
debotor Undang-undang nomor 37 tahun 2004
tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang tidak
mensyaratkan agar debitor berada
dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu
melindungi kepentingan kreditor,
tidak diterapkannya insolvensi test
mengakibatkan perusahaan di
indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam
kondisi ekonomi Indonesia saat ini
bila persyaratan insolvensi diterapkan maka
6 Rudy Lontoh (ED), Penyelesaian
utang melalui pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang , Bandung : Alumni, 2001 hlm
23
7 Munir Fuady , Hukum Pailit dalam
teori dan praktek, Bandung: citra Aditya Bakti, 1999 hlm 135
4
akan sulit membuat debitor di
Indonesia dinyatakan pailit. Logikanya dapat dilihat
pada krisis moneter sebenarnya tidak
membuat debitor Indonesia dalam keadaan
Insolvensi karena kehilangan pangsa
pasar (Market Share) atau pendapatan dalam
bentuk rupiah. Krisis moneter
menyebabkan debitor tidak lagi mampu membayar
utang karena adanya perbedaan kurs
yang mengakibatkan utang dalam mata uang
asing tidak terbayarkan dengan
pendapatan dalam mata uang rupiah8. Seharusnya
Konsep Insolvensi test dimasukkan
dalam Undang-undang nomor 37 tahun 2004
tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang terutama dalam
rangka pemberian perlindungan
terhadap debitor, selain untuk mengetahui apakah
ketidak mampuan membayar debitor
disebabkan karena perusahaan bangkrut
ataukah karena tidak mau membayar
utangnya karena alasan tertentu.
Undang-undang Kepailitan pada
Penjelasan Psal 2 ayat (1) juga
menyatakan bahwa kreditor yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit
ialah ketiga golongan kreditor,
yaitu krediotr separatis, kreditor preferens, dan
kreditor konkuren. Dari kasus yang
pernah terjadi, misalnya PT Dirgantara
Indonesia dan Adam Air, permohonan
pernyataan pailit terhadap perusahaan
tersebut diajukan oleh golongan
kreditor preferens. Golongan kreditor preferens,
menurut Pasal 1149 KUHPerdata juga
meliputi para buruh/ karyawan perusahaan.
Artinya bila gaji karyawan yang
menjadi haknya itu tidak segera dibayarkan dan
mereka tidak bersabar maka,
perusahaan berpotensi besar dapat dinyatakan pailit.
Untuk memnuhi syarat pailit begitu
mudahnya karena tidak meliputi keadaan
keuangan debitor. yang membatalkan
putusan pernyataan pailit, biasanya berkutat
pada syarat-syarat yang terdapat
pada Pasal 2 saja. Walaupun Hakim beranggapan
bahwa debitor dalam keadaan keuangan
yang sehat sehingga tidak layak untuk
dipailitkan, namun itu tidak bisa
dijadikan sebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit. Sekali lagi,
dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit
harus didasarkan pada syarat-syarat
yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004. Di Indonesia
tidak dikenal adanya "insolvency test"
terlebih dahulu sebelum diajukan
permohonan pailit. Harusnya Undang-Undang
Kepailitan juga memberikan pengaturan
tentang kondisi keuangan debitor sebagai
8 Hikmanto Juwana, Hukum Sebagai
Instrumen Politik, Medan, 2004, halaman 12
syarat untuk bisa dinyatakan pailit.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
mengandung asas kelangsungan usaha,
dimana debitor yang masih prospektif
dimungkinkan untuk melangsungkan
usahanya. Untuk melihat prospektif debitor
salah satunya dapat dilihat dari
keadaan keuanganya. Namun, Undang-undang
Kepailitan sama sekali tidak
menyinggung tentang kondisi keuangan debitor
sebagai syarat dijatuhkanya putusan
pailit. Lembaga kepailitan yaitu pengadilan
niaga harusnya digunakan sebagai
upaya terakhir (ultimum remedium) dalam
menyelesaikan utang-utang yang sudah
tidak mampu lagi dibayar oleh debitor.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan latar belakang
diatas, maka dapat ditarik suatu
rumusan masalah sebagai berikut:
Apa akibat hukum ketidakjelasan
pengaturan mengenai insolvensi
khususnya bagi debitor yang
berbentuk Perseroan Terbatas?
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif dengan
menganalisis perundang-undangan dan
peraturan-peraturan yang berlaku
kemudian dibandingkan dengan
pendapat-pendapat para ahli hukum atau doktrin
dan menggunakan pola pikir deduktif
yang melihat sebuah fenomena itu sebagai
gejala yang makro. Sehingga outpout
yang dihasilkan bersifat khusus yakni
putusan hakim pengadilan niaga yang
dihasilkan itu harus selaras dengan tujuan
hukum (keadilan, kepastian hukum,
dan kemanfaatan).
Penelitian hukum normatif dapat juga
dikatakan sebagai suatu studi
kepustakaan karena yang diteliti
adalah pasal-pasal yang terdapat dalam undangundang
Nomor 37 tahun 2004 tentang
kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran hutang serta
literatur-literatur yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan diteliti.
Fokus penelitian hukum doktrinial adalah suatu
proses untuk menemukan suatu aturan
hukum, prinsip hukum, maupun doktrin
hukum untuk menjawab permasalahan
hukum yang dihadapi. Penelitian hukum
doktrinial9 dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru
sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Jenis penelitian ini digunakan
dengan pertimbangan bahwa titik tolak yang
digunakan adalah analisis terhadap
Undang-undang kepailitan Indonesia saat ini
dianggap tidak sesuai lagi dengan
filosofi kepailitan, khususnya untuk persyaratan
untuk menyatakan pailit tersebut,
dimana dengan dihilangkan klausula “debitor
yang tidak mampu membayar” tersebut
maka tidak dapat dibedakan lagi mana
debitor yang tidak membayar utangnya
karena memang tidak mampu dan mana
debitor yang tidak membayar
utangnnya karena memang tidak mau. Filosofi yang
demikian secara umum tidak terdapat
dalam Undang-undang kepailitan nomor 37
tahun 2004 tentang kepailitan.
9 Peter Mahmud Marzuki, penelitian
hukum, Prenada Media Group, jakarta, hlm 35
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh
penelitian ini ada 2 (dua) pendekatan.
Yaitu pendekatan perundang-undangan
(statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
1. Pendekatan perundang-undangan
(stattue approach)
Pendekatan undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan masalah hukum
yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan ini
akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah
kinsistensi dan kesesuaian antara
undang-undang satu dengan undang-undang
lainnya, antara undang-undang dengan
UUD, antara regulasi dengan dan
undang-undang.10
2. Pendekatan konseptual (conceptual
approach)
Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dengan mempelajari pandanganpandangan
dan doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ideide
yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan
dengan masalah yang dihadapi.
C. jenis dan bahan sumber hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Bahan hukum primer
Yaitu bahan-bahan atau aturan hukum
yang mengikat kedalam11 dan
di urut secara hirarki. Bahan hukum
primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam
10 M.Syamsudin, operasional
penelitian hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 58
11 Amirudin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Raja Grafindo persada, Jakarta,2004, hlm 31
pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim12. Adapun yang
menjai bahan hukum primer dari
penelitian ini adalah :
a) Kitab undang-undang Hukum Perdata
pasal 1149.
b) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD RI)1945;
c) Undang-undang Nomor 19 tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik
Negara Pasal 4 angka 1 dan pasal 55
ayat 1
d) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran utang
pasal 2 ayat 1 dan pasal
e) Undang-undang no 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum tambahan yang
diperoleh dari literatur-literatur
yang terkait dengan permasalahan yang dikaji
yang berasal dari penjelasan
Undang-undang13. Semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, yang merupakan
bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum
primer sebagaimana yang terdapat
dalam kumpulan pustakayang bersifat
sebagai penunjang dari bahan-bahan
hukum primer sebagai contoh bukubuku,
jurnal, majalah, bulletin dan
internet
3. Bahan hukum tersier
Yang Merupakan bahan-bahan hukum
tambahan yang diperoleh dari
literature-literatur terkait dengan
permasalahan yang dikaji. sumber bahan
hukum tersier yang digunakan dalam
penelitian bahan hukum ini, adalah :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia ;
12 Johnny Ibrahim, Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing,
Surabaya, 2006, hlm 141
13 Pengkajian yang dilakukan
terhadap masalah peraturan perundang-undangan yang koheren.
Dalam hal ini kusnu Goesniadhie
dalam buku Harmonisasi Hukum, JP Books, Surabaya, 2006,
Halaman 51 mengemukakan bahwa hukum
sebagai norma positif yang berlaku pada suatu waktu
tertentu dan diterbitkan sebagai
produk eksplisit suatu kekuasaan politik tertentu yang memiliki
legitimasi.
b. Kamus hukum ;
D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum
Bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder diperoleh dari
penelusuran kepustakaan yang
berkaitan yang berkaitan dengan peratutran
perundang-undangan bidang kehakiman
terutama yang berkaitan dengan aspek
pengaturan insolvensi dalam
undang-undang no 37 tahun 2004 tentang kepailitan
saat ini di indonesia.
Teknik yang dipakai oleh penulis
adalah dengan cara mengutip, baik
secara lansung maupun paraphrase
atau sebuah kutipan yang sumbernya tidak
ditulis sama persis tetapi yang
dikutip hanyalah ide, gagasan atau semangat yang
terdapat dalam sumber aslinya.
Selain itu memakai teknik mengakses dan
menyalin dari artikel internet yang
berkaitan dengan penulisan ini.
E. Teknik Analis Bahan Hukum
Bahan- bahan hukum di kategorikan,
disusun secara sistematis dan
dianalisis dengan menggunakan
interpretasi dengan urutan:
1. menganalisi bahan hukum primer
terlebih dahulu dengan menggunakan
interpretation analIsis berpedoman
pada kerangka teoritis yang telah
dibuat oleh penulis.
2. Bahan-bahan yang diperoleh dalam
penelitian ini akan dianalisis dengan
menggunakan metode interprestasi
sistematis, yaitu interprestasi dengan
melihat kepada hubungan diantara
aturan dalam suatu undang-undang
yang saling bergantungan.
PEMBAHASAN
Dalam peraturan kepailitan (FV) pun
menganut konsep utang dalam arti
luas. Dalam yurisprudensi ternyata
bahwa membayar tidak selalu berarti
menyerahkan sejumlah uang. Menurut
putusan H. R 3 Juni 1921, membayar
berarti memenuhi suatu perikatan,
ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan
barang-barang.14
Disamping prinsip utang menganut
konsep utang dalam arti luas utang
yang dijadikan dasar mengajukan
kepailitan harus memenuhi unsur:
1. Utang tersebut telah jatuh tempo
2. Utang tersebut dapat ditagih
3. Utang tersebut tidak dibayar
lunas.
Suatu utang dapat ditagih jika utang
tersebut bukan utang yang timbul dari
perikatan alami (natuurlijke
verbintensis). Perikatan yang pemenuhannya tidak
dapat dituntut di muka pengadilan
dan yang lazimnya disebut perikatan alami
tidak dapat digunakan sebagai alasan
untuk mengajukan permohonan pailit.
Perikatan alami adalah semisal
perikatan yang oleh ketentuan perundangundangan
dinyatakan tidak dapat dituntut
pemenuhannya karena perjudian atau
pertaruhan (pasal 1788 KUH Perdata),
maupun sesudahnya sebagai akibat telah
terjadinya kadaluwarsa (pasal 1967
KUH Perdata).15
Dalam proses acara kepailitan
prinsip utang tersebut sangat menentukan,
oleh karena tanpa adanya utang
tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa
diperiksa. Walaupun telah ada
kepastian mengenai penafsiran utang tersebut
dalam revisi Undang-undangkepailitan
yakni Undang-undang Nomor 37 Tahun
14 Siti Soemantri Hartono (1993),
Pengantar Hukum Kepailitan dan penundaan Pembayaran,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Hlm
8
15 Fred BG tumbuan (2004), “
mencermati Makna Debitor, Kreditor dan Utang berkaitan dengan
Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassrie
(ed), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya,
Pusat pengkajian Hukum, Jakarta, hlm
20-21
2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan pembayaran Utang, dimana utang
didefinisikan dalam arti luas yang
berarti telah pararel dengan konsep KUH
Perdata, akan tetapi perubahan
konsep utang ini menjadi terdistorsi ketika
dikaitkan dengan hakikat kepailitan
dalam Undang-undang kepailitan yang hanya
bertujuan untuk mempermudah
memailitkan subjek hukum dimana syarat
kepailitan hanya memiliki dua
variable, yakni adanya utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih kembali
serta memiliki setidaknya dua kreditor. Sehingga
kemudahan mempailitkan subjek hukum
seakan dipermudah lagi dengan konsep
utang dalam arti luas tersebut.
Kelemahan Undang-undang ini sering disalah
gunakan, dimana kepailitan bukan
sebagai instrumen hukum untuk melakukan
distribusi aset debitor akan tetapi
digunakan sebagai alat untuk menagih utang
atau bahkan untuk mengancam subjek
hukum walaupun tidak berkaitan dengan
utang.
Hukum kepailitan di Indonesia
menganut prinsip utang dalam arti luas,
akan tetapi tidak menganut prinsip
pembatasan jumlah nilai nominal uang seperti
yang terdapat dalam sistem
kepailitan di Negara lain, misalnya di Singapura dan
Hongkong. Hal ini sebagai kekurangan
dan bahkan kelemahan aturan hokum
kepailitan di Indonesia. Argumentasi
yuridisnya adalah bahwa dengan tidak
dibatasi jumlah minimum utang
sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan,
maka akan terjadi penyimpangan
hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata
likuidasi yang cepat terhadap
kondisi keuangan debitor yang tidak mampu
melakukan pembayaran utang-utangnya
kepada para kreditornya sehingga untuk
mencegah terjadinya unlawful
execution dari para kreditornya, menjadi kepailitan
sebagai alat tagih semata (debt
collection tool). Di samping itu pula, dengan tidak
adanya pembatasan jumlah minimum
utang tersebut, bisa merugikan kreditor
yang memiliki utang yang jauh lebih
besar terhadap debitor.
Dari kasus yang pernah terjadi,
misalnya PT Dirgantara Indonesia dan
Adam Air, permohonan pernyataan
pailit terhadap perusahaan tersebut diajukan
oleh golongan kreditor preferens.
Golongan kreditor preferens, menurut Pasal
1149 KUHPerdata juga meliputi para
buruh/ karyawan perusahaan. Artinya bila
gaji karyawan yang menjadi haknya
itu tidak segera dibayarkan dan mereka tidak
bersabar maka, perusahaan berpotensi
besar dapat dinyatakan pailit. Untuk
memnuhi syarat pailit begitu
mudahnya karena tidak meliputi keadaan keuangan
debitor. Putusan kasasi Mahkamah
Agung yang membatalkan putusan pernyataan
pailit, biasanya berkutat pada
syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 2 saja.
Walaupun Hakim beranggapan bahwa
debitor dalam keadaan keuangan yang
sehat sehingga tidak layak untuk
dipailitkan, namun itu tidak bisa
dijadikansebagai alasan untuk
menolak permohonan pailit. Sekali lagi, dasar
diterima atau ditolaknya permohonan
pailit harus didasarkan pada syarat-syarat
yang terdapat dalam Pasal 2
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004.
Di Indonesia tidak dikenal adanya
"insolvency test" terlebih dahulu
sebelum diajukan permohonan pailit.
Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga
memberikan pengaturan tentang
kondisi keuangan debitor sebagai syarat untuk
bisa dinyatakan pailit.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengandung asas
kelangsungan usaha, dimana debitor
yang masih prospektif dimungkinkan untuk
melangsungkan usahanya. Untuk
melihat prospektif debitor salah satunya dapat
dilihat dari keadaan keuanganya.
Namun, Undang-undang Kepailitan sama sekali
tidak menyinggung tentang kondisi
keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya
putusan pailit. Lembaga kepailitan
harusnya digunakan sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium) dalam
menyelesaikan utang-utang yang sudah tidak mampu
lagi dibayar oleh debitor.
Konsep utang sebagai dasar untuk
mengajukan permohonan kepailitan
telah ditegaskan kembali dalam
undang-undang kepailitan 2004 yakni Undangundang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Dalam Pasal 1
angka 6 secara tegas menyatakan bahwa utang
adalah kewajiban yang dinyatakan
atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun
mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul karena
perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan debitor.
Namun demikian, konsep utang yang
dikonstatir dalam Undang-undang
kepailitan yang baru tersebut masih
mentah dan belum tuntas, terutama berkaitan
dengan batasan jumlah utang. Adapun
argumentasi yuridisnya adalah bahwa
tujuan kepailitan khususnya dalam
perspektif perseroan terbatas adalah sebagai
pranata hukum terakhir bagi
penyelesaian utang-utang perseroan terbatas setelah
terlebih dahulu diupayakan
solusi-solusi lain sebagai akibat dari kesulitan
keuangan perusahaan dan bukan
sebagai alat untuk menagih utang kepada
perseroan terbatas, sehingga utang
yang dapat dijatuhkan untuk menjadi dasar
permohonan kepailitan haruslah
merupakan utang besar yang signifikan bagi
perseroan terbatas bukan sembarang
utang. Hal ini berarti bahwa seharusnya
Undang-undang menentukan bahwa ada
batasan utang tertentu untuk dapat
dijadikan sebagai dasar permohonan
pailit, misalnya utang tersebut minimal
separuh dari aset perseroan terbatas
atau total utang harus lebih besar dari pada
asset perseroan. Bisa dibayangkan
ada perseroan terbatas yang dipailitkan hanya
karena utang yang kurang dari satu
persen dari asset perseroan itu sendiri. Dengan
kata lain, kepailitan bisa digunakan
untuk membangkrutkan perseroan dan bukan
sebaliknya sebagai alternatif solusi
penyelesaian kebangkrutan perseroan. Inilah
kesalahan terbesar dari filosofi
kepailitan yang ditanamkan dalam Undang-undang
kepailitan di Indonesia.
Tidak diatur dan dibedakannya antara
kemampuan debitor untuk membayar
utang dengan kemauan debitor untuk
membayar utang mengakibatkan banyak
perseroan yang masih solven namun
dapat dipailitkan. Salah satu tahap penting
dalam proses kepailitan adalah tahap
insolvensi. Tahap ini penting artinya karena
pada tahap inilah nasib debitor
pailit ditentukan. Apakah hartanya dibagi-bagi
sampai menutupi utang-utangnya
ataupun debitor masih dapat bernapas dengan
diterimanya suatu rencana perdamaian
atau restrukturisasi utang. Yang jelas, jika
debitor sudah dinyatakan insolvensi,
dia sudah benar-benar pailit dan hartanya
segera akan dibagi-bagi meskipun hal
ini tidak berarti bahwa bisnis dari
perusahaan pailit tersebut tidak
bisa dilanjutkan.
Menurut Dictionary Business of Term,
Insolvency diartikan : insolvensy
adalah Ketidaksanggupan untuk
memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu
seperti layaknya dalam bisnis; atau
Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan
asetnya dalam waktu tertentu. Secara
umum ada 3 Test Insolvensi untuk
mengetahui apakah
seseorang/perusahaan mampu atau tidak mampu membayar.
1. The Abiliti to Pay Solvency Testn
(Cash Flow Solvency Test)
Tes yang menentukan apakah suatu
debitor dapat membayar utangnya
ketika utangnya telah jatuh tempo.
Melihat masa depan kondisi keuangan
debitor dan dilakukan hanya dengan
melihat apakah utang seorang debitor
telah jatuh tempo dan tidak mampu
untuk membayar.
Rumus Perhitungan solvabilitas
jangka pendek:
• N1 X P1 + N2 X P2 = FUTURE CASH
FLOW
• Contoh: Diketahui Perusahaan X
memiliki utang yang jatuh tempo
disatu tahun buku sebesar Rp.100.000
dan Perusahaan X, tidak
memiliki aset (dana). Seandainya
Perusahaan X akan memiliki
uang sebesar Rp.1.000.000, TAPI
kemungkinan mendapatkannya
15% atau kemungkinan mendapatkan
Rp.0 dengan kemungkinan
85 %
• Intinya: 85% Perusahaan X tidak
akan mampu membayar utangnya
(Insolven), ketika jatuh tempo
• 15% Mampu membayar utangnya dan
dapat untung Rp.900.000
(Rp.1.000.000-100.000),
• Ditanya: Hitung Future cash
Flownya dan Apakah perusahaan
masih solven?
• JAWAB
• N1 X P1 + N2 X P2
• =Rp.1.000.000 x 15% + Rp.0 X 85%
• =Rp.150.000 (Cash Flow Future)
• Perusahaan masih Solven karena
Aset yang akan didapat (150.000)
> Kewajiban (100.000).
Rumus Perhitungan solvabilitas
jangka pendek :
• N1 X P1 + N2 X P2 = FUTURE CASH
FLOW
• N: Nominal
• P: Probability (Peluang)
15
Solvabilitas Jangka Panjang
•
•
•
Contoh Kasus:
• Diketahui Perusahaan X (Debitor)
dalam menjalankan usahanya
selama 5 tahun buku akan memiliki
proyek 2 proyek dengan total
nilai Rp.8.000.000, dan di
penghujung tahun ke lima perusahaan
memiliki utang sebesar Rp.6.000.000.
• Ditanya : Solvabilitas?
• Jawab: Rp.8.000.000: Rp.6.000.000
=1,33
• Tingkat solven bagus karena rasio
1,3 adalah angka yang positif.
2. The Balance Sheet test
Apabila utang (Responbility) telah
melebihi asetnya, kondisi keuangan
lebih besar daripada asetnya
berdasarkan penilaian yang wajar.
Contoh Kasus: diketahu Perusahaan
JAYA menjalankan usaha dan
memiliki utang Rp.100.000 yang harus
dibayar dalam 1 akhir tahun,
perusahaan tidak memiliki uang tunai
kecuali proyek yang akan menghasilkan
nilai uang Rp.108.000, lalu
diketahui bahwa kenaikan inflasi dalam rangka
untuk membayar utang sebesar 10%
Ditanya: Apakah Perusahaan JAYA
solven dimasa akan datang.
Jawab: Rp.108.000/1+10% =Rp.98.180
Rumus: Aliran uang yang akan
masuk:1+persentase kenaikan nilai
uang (inflasi)= nilai uang saat ini
Rumus:
Net Cash Provided by operating
activities : average total liabilities=
cash debt coverage ratio
• >1 maka semakin solven
perusahaan itu
• <1 maka semakin insolven
perusahaan
• (Intermediate Accounting)
Perusahaan Tidak Solven dan dapat
dipailitkan.
3. The Capital Adequacy
test/analisis transaksional,
Tes ini jarang dilakukan
Introduction to Analysis Economic Of Law.
Pendekatan analisa ekonomi atas
hukum dalam Kasus Kepailitan dan
Reorganisasi Perusahaan (PKPU) Penundaan
kewajiban pembayaran utang
dengan tujuan untuk mengajukan
rencana perdamaian dengan tujuan debitur
tidak dipailitkan Reorganisasi
Perusahaan: Mem-Fresh Start Perusahaan
dengan cara memberikan kesempatan
kepada perusahan untuk dapat mengelola
perusahaannya dari awal dengan cara
mem-format komponen perusahaan yang
ada didalamnya menjadi baru.
Tujuannya: Perusahaan dapat bangkit kembali.16
Dari penjelasan tiga rumus umum
Insolvensy test diatas dapat di
simpulkan bahwa Undang-undang
kepailitan harus segera mengadopsi tentang
syarat insolvensi atau keadaan
keuangan debitor yang lebih rendah daripada
utangnya untuk menjatuhkan pailit
sebuah perseroan, karena Bisa dibayangkan
ada perseroan terbatas yang
dipailitkan hanya karena utang yang kurang dari
satu persen dari aset perseroan itu
sendiri. Dengan kata lain, kepailitan bisa
digunakan untuk membangkrutkan
perseroan dan bukan sebaliknya sebagai
alternatif solusi penyelesaian
kebangkrutan perseroan. Inilah kesalahan terbesar
dari filosofi kepailitan yang
ditanamkan dalam Undang-undang kepailitan di
Indonesia.
16 Prinsip Umum Kepailitan,
Instrumen Insolvensi dan Aspek Ekonomi PKPU Dipersentasikan
oleh Josye Andreas Neumann Barus
Pada Internal Study Business Law Society (BLS) Fakultas
Hukum UI 2011
http://blsfhui.tumblr.com/ (di unduh pada tanggal 4 februari 2012 pukul 10.24
wib)
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum kepailitan di Indonesia
menganut prinsip utang dalam arti luas, akan
tetapi tidak menganut prinsip
pembatasan jumlah nilai nominal uang seperti yang
terdapat dalam sistem kepailitan di
Negara lain, misalnya di Singapura dan
Hongkong. Hal ini sebagai kekurangan
dan bahkan kelemahan aturan hukum
kepailitan di Indonesia.
Argumentasi yuridisnya adalah bahwa
dengan tidak dibatasi jumlah
minimum utang sebagai dasar
pengajuan permohonan kepailitan, maka akan
terjadi penyimpangan hakikat
kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi
yang cepat terhadap kondisi keuangan
debitor yang tidak mampu melakukan
pembayaran utang-utangnya kepada
para kreditornya sehingga untuk mencegah
terjadinya unlawful execution dari
para kreditornya, menjadi kepailitan sebagai
alat tagih semata (debt collection
tool). Di samping itu pula, dengan tidak adanya
pembatasan jumlah minimum utang
tersebut, bisa merugikan kreditor yang
memiliki utang yang jauh lebih besar
terhadap debitor ataupun merugikan debitor
yang memiliki kekayan yang lebih
besar daripada utang.
Dalam hukum kepailitan di Indonesia
tidak dikenal adanya insolvensy test
terhadap permohonan kepailitan
debitor sehingga besarannya asset tidak
dipertimbangkan untuk menolak
ataupun menerima permohonan kepailitan,
karena itu tidak terdapat
perlindungan hokum terhadap perusahaan yang masih
sangat solven dari jeratan
kepailitan tersebut. Hukum kepailitan di Indonesia lebih
ditekankan sebagai debt collection
tool atau alat untuk penagihan utang dan alat
untuk membangkrutkan perseroan
terbatas
SARAN
1. Berkaitan dengan prinsip utang
maka perlunya Undang-undang kepailitan
menentukan pembatasan jumlah minimal
utang yang dapat dijadikan dasar
untuk mengajukan permohonan pailit
baik kepailitan terhadap orang
perorangan maupun terhadap perseroan
terbatas, serta ketentuan yang
menyatakan bahwa subjek hukum
khususnya perseroan terbatas dapat
dipailitkan apabila jumlah total
seluruh utang melebihi asset perseroan
terbatas yang berarti bahwa pasiva
perseroan melebihi aktiva perseroan
terbatas.
2. Perlunya Undang-undang kepailitan
mengatur mengenai bubarnya
perseroan terbatas adalah antara
lain karena tidak cukupnya harta
perseroan untuk melunasi utang-utang
perseroan terbatas yang pailit serta
karena perseroan terbatas memasuki
fase insolvensi dalam proses
kepailitan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ali, Achmad, 1996. Menguak Tabir
Hukum Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis. ctk pertama, Chandra
Pratama, Jakarta.
Amirudin, 2004. Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Raja Grafindo persada,
Jakarta.
Asyhidie, Zaeni, 2005. hukum bisnis
“ prinsip dan pembinaannya di Indonesia”.
PT Raja Grafindo,Jakarta.
Budiarto, Agus, 2009. Kedudukan
Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri
Perseroan Terbatas. edisi 2,
Jakarta.
Friedman, W., 1993. teori dan
filsafat hukum dalam buku telaah kritis atas teoriteori
hukum diterjemahkan dari buku
aslinya Legal Theori oleh Arifin. raja
grafindo persada, Jakarta.
Fuady, Munir.1999. Hukum Pailit
dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti
Bandung.
--------------. 2003. Perseroan
Terbatas Paradigma Baru. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Hartono, Siti Soemantri, 1993.
Pengantar Hukum Kepailitan dan penundaan
Pembayaran. Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta
Hartono, Sri Rejeki, 2000, Hukum
Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan
Modern. Majalah Hukum Nasional,
Jakarta.
Ibrahim, Johnny, 2006 Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Bayumedia Publishing, Surabaya.
Juwana, Hikmanto, 2004. Hukum
Sebagai Instrumen Politik, Medan.
Jono, 2010, hukum kepailitan. ctk
kedua, sinar grafika,Jakarta.
Kartono, kepailitan dan penundaan
pembayaran, pradnya paramita, Jakarta.
Kosidin, Koko, 1994. Perjanjian
Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan
Perusahaan. Mandar Maju, Bandung.
Lontoh, Rudy (ED), 2001 Penyelesaian
utang melalui pailit atau penundaan
kewajiban pembayaran utang. Bandung
20
Muljadi, Kartini, 2001, action
paulina dan pokok-pokok tentang pengadilan
niaga, dalam: Rudhy A.Lontoh et.al,
Penyelesaian utang Piutang melalui
pailit atau penundaan kewajiban
pembayaran Utang, Alumni Bandung.
Rahadjo, Satjipto, 2002. Sosiologi
Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan
Hukum, (Surakarta :Universitas
Muhamadiyah)
Rinanti, Triweka, 2006. Dilema
Kreditur Separatis di Pengadilan Niaga. Ctk.
Kedua, Jakarta.
Sastrawidjaja, Man. S. , 2006, Hukum
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Alumni, Bandung.
Shuban, Hadi, 2009. Hukum Kepailitan
Prinsip, Norma,dan Praktik di Peradilan.
Kencana, Jakarta.
Situmorang, Victor M dkk, 1994,
Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia. PT
Rineka Cipta,Jakarta.
Sjahdeini, Sutan Remy, 2009, Hukum
Kepailitan: Memahami Undang – Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan. Ctk. Ketiga, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta.
Syamsudin, M., 2007, operasional
penelitian hukum. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Tumbuan, Fred BG, 2004. mencermati
Makna Debitor, Kreditor dan Utang
berkaitan dengan Kepailitan, Dalam :
Emmy Yuhassrie (ed), Undangundang
Kepailitan dan Perkembangannya,
Pusat pengkajian Hukum.
Jakarta
Widjaja, Kartini M., G., 2003.
Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,
PT.RajaGrafindo Persada.
Yani, Ahmad dkk, 2002. kepailitan
seri hukum bisnis, Raja Grafindo persada,
Jakarta.
Undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD RI)1945;
21
Undang-undang nomor 37 tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan
kewajiban Pembayaran Utang
Undang-undang nomor 40 tahun 2007
Tentang perseroan terbatas
Situs internet
Antara news.com Hayono: putusan
pailit yang menimpa Telkomsel
mengerikan
http://www.antaranews.com/berita/338197/hayono-putusanpailit-
yang-menimpa-telkomsel-mengerikan di
unduh pada tanggal
28/11/2012 pukul 17:29 Wib
Zulkarnain Sitompul, dalam
artikelnya berjudul Perlukah PT DI dipailitkan.
http: // zulsitompul. wordpress. Com
(diakses hari minggu tanggal 20
januari pukul 15.34 wib )
Prinsip Umum Kepailitan, Instrumen
Insolvensi dan Aspek Ekonomi PKPU
Dipersentasikan oleh Josye Andreas
Neumann Barus Pada Internal Study
Business Law Society (BLS) Fakultas
Hukum UI 2011
http://blsfhui.tumblr.com/ (di unduh
pada tanggal 4 februari 2012 pukul
10.24 wib)